Foto Ulama, tokoh masyarakat dan warga kota Martapura di depan Masjid Al Karomah tahun 1950-an |
Seiring berjalannya waktu pasca wafatnya Syekh Arsyad (th. 1777) dan dibubarkannya kesultanan Banjar oleh Belanda (th. 1876), kota Martapura masih tetap bertahan sebagai pusat studi ilmu-ilmu agama di Kalimantan. Pesantren Dalam Pagar dan majelis-majelis ta’lim di masjid, langgar/surau dan rumah-rumah para ulama Martapura menjadi sumber mata air bagi mereka yang haus akan ilmu, amalan dan barokah. Zuriat Syekh Arsyad dan murid-muridnya dari Martapura telah menyebar ke berbagai pelosok untuk meneruskan perjuangannya sebagai “waratsatul anbiya” dengan sepenuh hati berdakwah bil hal maupun bi lisan dan memprakarsai berdirinya basis-basis baru penyebaran agama Islam di beberapa daerah seperti di Alabio, Amuntai, Pleihari, Rantau, Samarinda, Sambas, Tembilahan Riau, dan lain-lain.
Momen yang amat penting terjadi pada permulaan abad ke-19 dimana ide-ide pembaharuan di dunia Islam telah sampai di Nusantara tidak terkecuali di Martapura. Persatuan bangsa Indonesia sudah mulai terwujud, antara lain dengan telah terbentuknya Syarikat Dagang Islam (SDI). Pada waktu ini pendidikan dan pengajaran Islam masih berwujud tradisional, masih berlangsung di mushalla/surau atau di rumah tuan guru/ulama, namun ide-ide pemabaharuan pendidikan sudah dirasakan oleh para tuan guru/ulama tersebut. Dorongan untuk melakukan pembaruan semakin menguat manakala pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum yang tujuannya untuk mengokohkan kepentingan kolonial dan missi kristenisasi yang terselubung. Puncaknya terjadi pada hari Selasa tanggal 20 Sya’ban 1332 H./14 Juli 1914 M dengan dimotori oleh KH. Djamaluddin, salah seorang ulama terkemuka atas hajat masyarakat Islam dan mufakat dari para ulama, zu’ama, tokoh masyarakat, dan hartawan diprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Islam dengan nama “Madrasah Darussalam” di kampung Pasayangan Martapura. Madrasah yang kemudian berkembang menjadi pesantren ini memiliki peran penting bagi sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Selatan dan menjadi acuan bagi perkembangan madrasah/pesantren lain yang berdiri kemudian di daerah tersebut. KH. Jamaluddin sendiri dikenal sebagai pendiri sekaligus pimpinan pertama madrasah tersebut (1914 s/d 1919), beliau dikenal pula sebagai presiden Syarikat Islam (SI) pada Onder Afdelling Martapura yang meliputi wilayah yang sekarang ini adalah Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Tanah Laut. Ketika wafat beliau digantikan oleh KH. Hasan Ahmad (1919 s/d 1922).
B. Perkembangan Pesantren
Pada awal berdirinya, pesantren Darussalam tampil dengan sistem pengajaran tradisional. Materi-materi yang diajarkan terbatas hanya di bidang keagamaan. Begitu pula, bangunan pesantren masih sangat sederhana yakni menempati sebuah rumah yang berukuran 10 x 20 m yang dibeli dari seorang tionghoa kemudian dirombak, ditambah dan disesuaikan sebagai madrasah pada waktu itu. Kegiatan pengajaran dilakukan dengan cara halaqah, dimana para murid duduk bersimpuh mengelilingi guru sambil mendengarkan materi keagamaan yang diberikan. Pendidikan dan pengajaran semacam ini tidak mengenal kelas atau batasan umur, anak-anak dan orang dewasa bercampur menjadi satu kelompok dengan tanpa ada evaluasi belajar.
Perkembangan pesantren Darussalam mengalami lompatan besar ketika pesantren dipimpin KH. Kasyful Anwar, beliau menggantikan KH. Hasan Ahmad menjadi pimpinan pesantren dari tahun 1922 hingga 1940. Pada periode itulah, sejumlah pembaharuan dilakukan dalam rangka meningkatkan pendidikan pesantren diantaranya ialah mengganti nama Madrasah Islam Darussalam menjadi “Madrasatul ‘imad fi Ta’limil Aulad Darussalam” selanjutnya Beliau melakukan pemugaran gedung lama diganti gedung baru yang bertingkat semi permanen dengan bahan dasar kayu ulin. Gedung itu memiliki enam belas lokal, yang digunakan baik sebagai ruang belajar maupun kantor.
Selain itu, aspek terpenting dari pembaharuan yang dilakukan KH. Kasyful Anwar adalah memperkenalkan sistem klasikal/ madrasah pada sistem pendidikan tradisional dengan sistem kelas berjenjang. Mulai dari Tahdiriyah selama 3 tahun, Ibtidaiyah 3 tahun, dan Tsanawiyah 3 tahun. Untuk kepentingan pengajaran Beliau telah menetapkan kitab-kitab standard dan mengarang beberapa kitab untuk menjadi acuan pelajaran yang diberikan di madrasah itu. Selanjutnya KH. Kasyful Anwar dipandang sebagai mu’assis/pendiri sistem pendidikan ala pesantren di PP. Darussalam Martapura.
Setelah wafatnya KH. Kasyful Anwar (1940) beliau digantikan oleh KH. Abdul Qadir Hasan. Pada periode ini terjadi pergolakan besar di Martapura dimana tentara Dai Nippon (Jepang) menguasai Martapura dan mereka memaksa bangunan pesantren untuk dijadikan asrama tentara pendudukan Jepang, namun oleh KH. Abdul Qadir Hasan kegiatan belajar mengajar tetap diteruskan dengan menjadikan rumah-rumah para guru sebagai kelas tempat belajar. Pada masa selanjutnya KH. Abdul Qadir Hasan bersama murid-muridnya ikut berperan dalam pemulihan keamanan pasca revolusi kemerdekaan.
Perkembangan situasi tenang dan kondusif pasca revolusi membuat perkembangan pesantren Darussalam menjadi sangat pesat. Selanjutnya Pesantren Darussalam dipimpin berturut-turut oleh KH. Anang Sya’rani Arief (1959 s/d 1969) dan KH. Salim Ma’ruf (1969 s/d 1976). Perkembangan fisik terlihat pada perbaikan bangunan fisik dan bertambahnya jumlah guru dan santri yang berdatangan dari berbagai penjuru daerah di Kalimantan. Perkembangan penting pada sistem pengajaran terjadi dimana ditetapkan jenjang pendidikan tahdiriyah 2 tahun, awaliyah 4 tahun, tsanawiyah/wustha 3 tahun, dan aliyah/ulya 3 tahun. Disamping itu juga dibentuk lembaga pendidikan khusus untuk mempersiapkan guru agama (semacam PGA) yang disebut “Isti’dadul Mu’allimin Darussalam” 6 tahun dengan memasukan pula kurikulum pelajaran umum di dalamnya. Selain itu juga didirikan Fakultas Syari’ah Darussalam sebagai tingkatan perguruan tinggi bagi santri yang sudah lulus tingkatan aliyah/ulya. Pada periode ini pula dibentuk “majelis syuyukh” yakni majelis para ulama/guru yang mengajar di Darussalam dimana dilaksanakan pengajaran/pengajian khusus untuk para guru yang diasuh oleh pimpinan pesantren dan musyawarah membahas berbagai persoalan di pesantren maupun di masyarakat.
Pada perkembangan berikutnya periode kepemimpinan KH. Badruddin (1976 s/d 1992) . lembaga pendidikan ini diresmikan namanya sebagai “Pondok Pesantren Darussalam Martapura”. Pada periode ini modernisasi pesantren Darussalam terus berlangsung sejalan dengan perkembangan masyarakat sekitar. Kebutuhan masyarakat sekitar terhadap pendidikan yang makin beragam – yang tidak hanya terbatas dibidang keagamaan – senantiasa memperoleh perhatian yang sangat besar dari pengelola pesantren Darussalam. Oleh karena itu, saat ini pesantren Darussalam tidak hanya mendirikan lembaga pendidikan Islam madrasah, tapi juga lembaga pendidikan umum. Pesantren telah mendirikan SMP, SPP-SPMA (Sekolah Pertanian yang menggunakan kurikulum dari Departemen Pertanian), dan STM/SMK yang mengacu pada Depdiknas, serta memperbaharui Fakultas Syariah Darussalam menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) dengan kurikulum Depag/IAIN. Untuk kepentingan itu telah dibuka lokasi baru diatas tanah 10 Ha yakni di Jl.Perwira Tanjung Rema Darat Martapura dijadikan kompleks gedung-gedung sekolah dan asrama guru/santri milik pessantren Darussalam.
Periode selanjutnya kepemimpinan KH. Abdussyukur (1992 s/d 2007) perkembangan signifikan adalah pada bangunan fisik pesantren dimana telah direnovasi bangunan lama peninggalan KH. Kasyful Anwar yang sebelumnya dua tingkat berbahan dasar kayu ulin dirombak menjadi bangunan beton permanen setinggi tiga tingkat. Disamping itu bangunan-bangunan baru juga telah didirikan baik di lokasi lama maupun di lokasi baru kesemuanya itu dilakukan untuk mendukung aktifitas belajar mengajar dan pelayanan bagi para “tholibul’ilmi” yang jumlahnya telah mencapai puluhan ribu orang.
Pada periode ini juga didirikan “Pesantren Tahfidz al-Qur’an Darusalam” yakni pesantren khusus tempat menghafal dan mengkaji ilmu-ilmu al-Qur’an, dan “Fakultas Fiqhiyah Ma’had Aly Darussalam” yakni perguruan tinggi setingkat diploma dengan kajian khusus ilmu fiqih dan ushul fiqih dengan kurikulum pesantren. Disamping itu, STIS Darussalam dengan kurikulum IAIN/Depag yang sebelumnya sudah ada ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam dengan penambahan fakultas/jurusan baru, dan telah mendapatkan status terkreditasi/diakui oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Setelah wafatnya KH. Abdussyukur (2007) kepemimpinan Pesantren Darusalam diteruskan oleh KH. Khalilurrahman. Pada periode ini telah dijajaki pengembangan pesantren untuk kemajuan yang lebih baik dengan berusaha membenahi manajemen pesantren, pengelolaan keuangan yang teratur dan profesional, serta koordinasi antar tingkatan dan unit-unit lembaga pendidikan, dan sebagainya. Untuk itu telah dilakukan upaya-upaya diantaranya ialah mengadakan studi banding bersama unsur pimpinan dan guru-guru pesantren Darussalam ke PP. Darul Ulum Jombang Jawa Timur (2009). Disamping itu juga dilakukan pembenahan terhadap organisasi dan tata kelola Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Martapura sebagai induk dari semua unit-unit lembaga pendidikan Darussalam.